Anak Adalah Guru Kehidupan

Child With Woman Holding Map

"Sementara kita mengajari anak-anak semua hal tentang hidup, mereka justru mengajari kita tentang arti kehidupan."
(Angela Schwindt, dalam Chicken Shop for The Soul)

Orangtua sering merasa telah mengajarkan banyak hal kepada anak. Padahal sejatinya, anak justru mengajarkan lebih banyak hal pada orangtuanya.

Syaratnya, orangtua harus memiliki kepekaan hati yang baik. Sehingga pesan-pesan yang disampaikan secara tersirat maupun tersurat dari anak, bisa terbaca.

*

Pernahkah Bapak/Ibu melihat anak-anak yang sedang “bertengkar” ?
Pastinya pernah dong, ya. Entah itu di rumah dengan saudaranya atau di luar dengan teman-temannya.


Berapa lama biasanya efek dari pertengkaran mereka?
Satu jam, dua jam, satu hari, dua hari, atau hanya dalam hitungan menit?


Umumnya, pertengkaran diantara anak-anak hanya berlangsung dalam hitungan menit. Setelah sakit atau emosi mereka mereda, biasanya akan segera berbaikan dan main bersama kembali.


Anak-anak yang fitrah suci itu tidak memendam rasa dendam, benci, dan buruk sangka. Ketika mereka tersakiti, rasa kesal dan marahnya hanya berlangsung saat itu saja, tidak berlarut-larut, dan tidak berkepanjangan.

*

Dari anak kita belajar, mudahnya memaafkan. Kalau pun ada rasa sakit, perasaan sedih dan kecewa, tidak berlangsung lama, dan tidak dipelihara dalam hati.

Mereka ungkapkan segera rasa yang ada lewat tangisan. Setelah emosinya tersalurkan, hatinya sudah tenang, mereka segera berbaikan, berteman, dan bermain kembali. Masalah selesai lebih cepat.


Kadang, masalah anak yang sederhana bisa menjadi rumit karena respon orangtua dan orang dewasa di sekelilingnya.

Orangtua menanggapi pertengkaran anak dengan amarah, sehingga muncul masalah baru. Orangtua membela salah satu pihak, sehingga muncul persaingan antar saudara (sibling rivalry). Orangtua menyalahkan anak, sehingga anak belajar menyalahkan. Orangtua menghina anak, sehingga anak belajar memusuhi. Orangtua memukul salah satu atau kedua pihak, sehingga anak jadi belajar memukul. Orangtua berteriak, anak jadi belajar berteriak saat kesal. Orangtua memaki, sehingga anak belajar memaki. Dan seterusnya.


Tanpa sadar, orangtua merusak fitrah anaknya. Sehingga benar sekali hadist Rasulullah yang mengatakan bahwa “Pada dasarnya setiap anak adalah fitrah. Orangtuanyalah yang mengubahnya menjadi Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” Orangtua telah mencederai fitrah anak lewat sikap dan perilakunya yang salah dalam merespon perilaku anak.


Sebenarnya, tanpa keikutsertaan orangtua dalam masalah dan pertengkaran anak, urusan mereka akan selesai kok. Tapi anak kan butuh dan ingin mencari perlindungan, pembelaan, dan kasih sayang dari orangtuanya. Itu yang mereka harapkan.

Dipeluk, didengar keluhannya, dipisahkan dan diredakan pertengkarannya, memberi ketenangan bagi kedua pihak. Bukan sebaliknya, dihakimi, disalahkan, dimarahi, dan disakiti dengan lisan dan perbuatan orangtua.

*


Baru dari satu sisi anak, kita sudah bisa belajar dan introspeksi banyak hal dalam diri kita. Contoh tadi mengajarkan kita untuk belajar MUDAH MEMAAFKAN.


Suatu prinsip kehidupan yang sederhana tapi semakin menjadi dewasa, kadang justru semakin sulit dipraktekkan. Akibatnya, orang dewasa memiliki masalah yang begitu rumit dalam hidupnya.


Mengapa orang dewasa lebih sulit memaafkan dibanding anak-anak?


Anak-anak masih fitrah, masih suci, masih bersih hatinya. Masih sedikit dosanya. Sehingga ia mudah menerima kebaikan dan melakukan kebaikan.


Orang dewasa? Barangkali hatinya sudah tidak lagi sesuci masa kecilnya. Sehingga emosi negatif lebih musak masyuk pada diri.


Maka mensucikan hati adalah langkah awal yang harus dilakukan orang dewasa untuk bisa kembali fitrah dan suci. Sehingga lisan dan perbuatan selalu mampu menampilkan kebaikan.


Rasulullah bersabda : “Di dalam tubuh manusia ada segumpal daging, bila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya.”


Apa yang Rasulullah sampaikan tentu tidak lagi ada keraguan bagi kita di dalamnya. Kunci kebaikan diri adalah memiliki hati yang baik. Hati yang bersih. Hati yang suci. Saat hati kita baik, maka tidak hanya tubuh yang sehat, tapi lisan dan perbuatan juga mengikuti.


Mari belajar dari anak. Belajar arti kehidupan dari kepolosan anak. Dari lisan dan perbuatan yang mereka tampilkan.


Bila anak kita kini banyak menampilkan keburukan, kitalah orangtua yang harus segera berbenah diri. Tapi bila banyak kebaikan yang semakin terlihat dan kita rasakan dari anak, alhamdulillah, itu tanda hati kita semakin bersih.


Hati yang bersih akan mudah meilihat segala kebaikan. Tapi hati yang keruh hanya akan melihat keburukan walau ia dalam kebaikan.

0 komentar:

Posting Komentar